Nyampe
di rumah waktu itu pas adzan subuh, sekalian ikut sholat di mesjid
depan rumah. Selepas itu aku sempatkan untuk menikmati mentari terbit,
namun sayang, di sebelah timur sana sudah banyak pohon tinggi dan
rumah-rumah.
Sawah-sawah udah banyak hilang diganti pohon sengon, atau pohon buah-buahan yang gak butuh banyak air, maklum nyari air susah banget sekarang ini. Walau gak bisa memandang sunrise dengan leluasa, aku bisa menikmati cakrawala barat yang dihiasi oleh hamparan sawah kering, hutan, dan jajaran gunung sumbing, slamet dan pegunungan perahu.
Di selatan nampak perkasa gunung ungaran dalam balutan kabut tipis. Tidak cukup biru memang, tapi cukup menyenangkan untuk dipandangi. Beberapa burung bangau, nampak beterbangan, walaupun bukan saat tanam padi (biasanya saat tanam padi banyak banget burung bangau yang berkeliaran di sawah untuk memakan anak katak).
Sawah-sawah udah banyak hilang diganti pohon sengon, atau pohon buah-buahan yang gak butuh banyak air, maklum nyari air susah banget sekarang ini. Walau gak bisa memandang sunrise dengan leluasa, aku bisa menikmati cakrawala barat yang dihiasi oleh hamparan sawah kering, hutan, dan jajaran gunung sumbing, slamet dan pegunungan perahu.
Di selatan nampak perkasa gunung ungaran dalam balutan kabut tipis. Tidak cukup biru memang, tapi cukup menyenangkan untuk dipandangi. Beberapa burung bangau, nampak beterbangan, walaupun bukan saat tanam padi (biasanya saat tanam padi banyak banget burung bangau yang berkeliaran di sawah untuk memakan anak katak).
Hamparan
bunga tanaman putri malu yang berwarna merah keunguan menghiasi
pematang sawah. Entah kenapa tanaman putri malu begitu merajalela.
Mungkin karena musim kemarau sehingga pak tani memang tidak sedang
menggarap sawahnya, ya akibatnya sawah tak terurus dan tumbuh suburlah
si putri malu. Jadi teringat waktu kecil, saling adu kemahiran untuk
dapat memetik daun putri malu tanpa harus membuat daun tanaman itu
menguncup, jelas secara ilmiah gak mungkin dilakukan, tapi ada juga yang
bisa, kok bisa ya? Hehehe kadang alam memang berbeda pendapat dengan
ilmu pengetahuan.
Walapun
udah pagi tapi masih kudengar suara jangkrik. Sebenarnya paling asyik
klo suara jangkrik itu diiringi suara katak, tapi sedang gak musim
tanam, susah banget ndengar "kodok ngorek yang teot teblung itu".
Ya cukuplah suara jangkrik di pagi hari menemaniku. Dulu aku suka ngadu
jangrik, jenisnya jrabang (yang agak kemerahan warnanya) atau jaliteng
(yang hitam). Gak boleh ngadu jangkrik yang mempunyai ekor berbentuk
jarum, aku gak tahu sebabnya. Tapi sebenarnya gak boleh ngadu jangkrik
jenis apapun, kata orang tua dulu, kalo kita ngadu jangkrik, ntar di
neraka giliran kita yang diadu oleh jangkrik. Wah kasian jangkriknya,
ikut ke neraka juga hehehe.
Dulu
aku sering memikmati pemandangan di tempat ini, terutama saat sedang
resah dan mencoba mencari jawaban akan permasalahan yang sedang aku
hadapi, kadang juga tempat untuk iseng-iseng bikin lagu atau menjadi
tempat belajar yang paling representatif karena bebas dari gangguan.
Walaupun gak cukup sempurna, tapi tetap luar biasa.
Udah puas nikmatin pemandangan, mata jadi pengin merem, yaaah penyakit...molor deh ampe adzan dzuhur mengumandang.
0 komentar:
Posting Komentar